Jumat, 13 Agustus 2010

Tahun Baru (LAGI) di Bali (pt.4)

Lanjutan dari cerita sebelumnya :

Tanggal 3 Januari 2010, kita berencana untuk menjelajahi Ubud sampai Kintamani pakai motor lagi tentunya.
Sebenarnya saya cukup khawatir dengan mamanya Iyul, karena Kintamani itu cukup jauh dan saya ragu untuk orang seumuran dia akan kuat naik motor kesana.
Tapi mamanya Iyul meyakinkan saya, kalau dia sudah biasa naik motor dengan Iyul jadi badannya sudah kuat dengan angin.hehehee..
Oh iya hari ini om saya serta istri dan anaknya akan kembali ke Jakarta pada sore hari.
Makannya pas mereka datang ke hotel kami, kami bilang kalau kami mau ke Ubud makan b2 gulingnya Bu Oka dan kalau sempat kami akan sekalian ke Kintamani.
Om saya takut tidak keburu kembali sorenya dan ketinggalan pesawat, makannya mereka memutuskan untuk tidak ikut bersama kita.

Untuk ke arah Ubud, kita lewat jalan yang searah dengan pasar Sukawati, malah sempat lewatin pasarnya yang kemarin kita kunjungi.hehehe..
Dari sana ikutin terus jalurnya sambil lihat2 petunjuk arah Ubud.
Sebetulnya tujuan pertama kita yaitu makan di babi guling Bu Oka. Berkali-kali saya ke Bali tapi saya belum pernah mencicipi makanan yang satu ini.
Karena belum pernah mencoba makan disana, otomatis saya dan Koes tidak tahu tempat persisnya dimana, hanya tahu di daerah Ubud saja.
Nah ditengah2 kebingungan kita, tiba2 kita melihat papan2 nama yang cukup mencolok dan kalau dibaca ternyata tulisan babi guling Bu Oka..
Kami sempat ragu, karena yang kita tahu tempatnya itu tidak terlalu bagus dan tidak terlalu besar. Tapi yang kita datangi justru sangat berbeda dari yang kita bayangkan, tempatnya itu besar dan luas. Lalu kami pastikan tempat tersebut benar2 warung babi gulingnya Bu Oka yang tersohor itu kepada penjaga parkir.
Dan ternyata itu memang benar warung Bu Oka yang kami cari2, tetapi itu bukan warung aslinya melainkan rumah barunya.

Kami memilih tempat di lantai 2 yang bentuknya lesehan. Setelah itu kami melihat-lihat menu yang ada.
Wah ternyata harganya ga murah2 banget yah, satu porsi nasi babi guling Rp 25.000 belum sama tax loh.. Koes sebenarnya ingin memesan kulit b2, tapi saat itu katanya sudah habis.

Babi Guling Bu Oka










Setelah makan, kita melanjutkan perjalanan lagi ke Monkey Forest, tempatnya masih sama2 di Ubud kok.
Kita sempat kebingungan juga sewaktu mencari-cari petunjuk ke arah tempat tersebut, karena si Koes lupa2 ingat jalannya.
Tapi syukur kita tidak sampai nyasar atau tersesat, setelah ketemu rumah makan Bebek Bengil tempatnya sudah tidak jauh lagi kok.
Tadinya kami sempat berpikir untuk mampir makan di Bebek Bengil tapi karena keterbatasan waktu akhirnya kami tidak jadi kesana.

Tiket masuk Monkey Forest masih sama yaitu Rp 15.000/orang.
Hal yang saya rasakan sewaktu di Uluwatu kemarin2, saya rasakan kembali di sana.
Saya merasa jumlah monyet2 disana menurun drastis, entah pada kemana monyet2 tersebut. Apa mungkin waktu itu lagi musimnya monyet pulang kampung..hahaha..
Dari gerbang biasanya sudah banyak monyet2 yang berkeliaran tetapi waktu itu sampai bagian tengah pun tempat orang2 suka memberi makan, monyet hanya terlihat satu atau dua ekor.
Lalu kami masuk lagi kebagian yang lebih dalam dan menuruni anak tangga yang dibawahnya ada kolam suci yang ditunggui oleh ikan2.
Di kolam tersebut banyak bertebaran koin2, tak lupa kamipun ikut2an melempar koin disana.hehehe..
Setelah itu, kami naik lagi ke tempat sebelumnya. Rupanya monyet2 sudah ramai disana, ada yang sedang diberi makan, ada juga yang sedang leha2 saja.
Kesempatan tersebut kami pakai untuk berfoto-foto bersama mereka (monyet).
Tapi yang namanya monyet tetap saja monyet, ga boleh lihat orang bawa bungkusan dikit langsung aja main tarik.
Jadi sedikit berhati-hatilah dengan monyet2 dimanapun.hehehe.

Monkey Forest




Kolam suci






Thief monkey (dia lagi berusaha untuk buka tasnya Koes loh!!)






Kaya makam yah, tapi makam siapa?!!


Dari Monkey Forest, kita lanjut lagi ke tempat selanjutnya yaitu Goa Gajah.
Tempatnya tidak terlalu jauh dari Monkey Forest asal kita tidak salah jalan.
Karena saya dan Koes pernah kesana sebelumnya, maka sedikit banyak kita sudah tahu jalan kesana.
Pas mau parkir, kita sempat di teriakkin sama security disana yang pakaiannya seperti polisi. Katanya kita salah masuk, kita masuknya dari pintu keluar.hehehe..
Tapi untuk yang ini kita memang tidak sengaja, karena kami pikir pintunya sama saja, sebelumnya pas saya kesana dulu juga masuknya dari sana kok Pakkk..
Akhirnya kita minta maaf, terus pak securitynya bilang lain kali masuknya dari sana yah!! Kita cuma iya2 aja deh, daripada urusan jadi panjang dan lebar.
Seperti tempat2 wisata di Bali lainnya, sebelum masuk area Goanya kita akan dipertemukan dulu dengan kios2 kecil yang menjual baju sampai souvenirs.

Tiket masuk Goa Gajah Rp 3000/orang plus pinjaman sarung gratis untuk yang memakai celana pendek.
Untuk mencapai goanya, kita harus rela menuruni anak tangga yang lumayan banyak.
Sebelum mencapai goa, ada 2 kolam yang sepertinya disucikan, tetapi kita bisa mencuci muka atau mengambil air disana.
Saya menyuruh Iyul dan mamanya untuk mencuci muka disana, bukan karena maksud2 tertentu loh, tetapi supaya mereka sedikit seger aja, soalnya perjalanan masih cukup panjang.
Setelah itu, saatnya kita masuk ke dalam goa. Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, goanya itu tidak besar malah kecil banget.
Didalamnya hanya ada arca dan sesajen2, tapi kami tidak mengerti arca apa itu karena kita tidak memakai jasa guide.
Setelah berfoto-foto sedikit, kita langsung naik lagi ke atas karena harus melanjutkan ke tujuan selanjutnya.

Pancuran suci








3 arca


Patung Ganesha


Diparkiran sebelum melanjutkan perjalanan, kita bertanya kepada security yang tadi sempet ngomelin kita. Kita menanyakan jalur mana yang harus ditempuh untuk sampai ke Tampak Siring. Hal tersebut hanya untuk memastikan biar tidak salah, soalnya Koes sedikit2 sudah lupa jalannya.
Dari Goa Gajah ke Tampak Siring bisa dikatakan cukup jauh jaraknya.
Tapi tidak masalah selama kita tidak mengambil jalan yang salah, kita pasti bisa sampai kesana. Kalau sudah ketemu petunjuk tempat wisata Gunung Kawi, berarti Tampak Siring sudah tidak terlalu jauh lagi.
Pas dipertigaan pun ada petunjuknya kok, tapi tetap harus sering2 bertanya bagi yang pertama kali kesana.
Setelah sampai lagi2 terjadi kesalahpahaman, kita masuk melalui jalur parkiran yang gratis. Pas mau masuk, tiba2 ada tempat pengecekan tiket, loh saya bingung lagi, padahal sebelumnya saya kesana tidak bayar loh alias gratis..hehehe..
Terus kami tanyakan kepada petugasnya dimana bisa beli tiketnya, dia bilang itu disana pas gerbang keluar masuk mobil dan motor.
Waduh berarti kami salah masuk donk, biarin ah yang penting motor kami tidak perlu bayar.hehehe..
Saya lupa persisnya berapa harga tiket waktu itu, kayanya sih ga lebih dari sepuluh ribu deh.

Lagi2 saya kesana pas ada upacara keagamaan, jadinya waktu itu Tampak Siring ramai dengan orang lokal yang datang untuk bersembahyang.
Jadi kita hanya bisa melihat-lihat saja orang ramai pada mandi, sebenarnya saya ingin cuci muka dan rendam kaki tapi karena ramai saya urungkan niat saya, takut mengganggu warga setempat yang sedang menjalankan ritual.
Terus saya suruh lagi si Iyul dan mamanya untuk cuci muka disalah satu pancuran disana, tetapi karena pancuran cukup jauh dari tempat ia berdiri, jadi mereka agak kesulitan untuk mengambilnya takut tercebur.
Dari tempat tersebut, kita masuk lagi lebih dalam ke tempat yang ada pura2nya.
Disini kita juga diharuskan memakai sarung jika kebetulan kita memakai celanan pendek. Tapi tetap sarungnya disediakan gratis, tapi inget jangan lupa dipulangin yah..
Di area tersebut juga tidak diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid masuk kedalam.

Sedang ada upacara keagamaan






Istana Tampak Siring dari kejauhan


Area Pura














Mata air yang konon tidak kering2


Selesai dari sana, kita akan melanjutkan perjalanan lagi ke Kintamani. Dari Tampak Siring ke Kintamani lumayan jauh dan udaranya sudah berbeda.
Sebelum memulai perjalanan selanjutnya, saya menyakinkan dulu bahwa mamanya Iyul masih kuat untuk meneruskan perjalanan ini.
Saya beritahu dia bahwa ke Kintamani itu masih cukup jauh, dan udaranya terkadang sangat dingin sekali jika turun hujan. Karena kita naik motor, saya khawatir jika turun hujan dan udara mendadak jadi dingin sekali.
Karena tekadnya sudah bulat, ia tetap mau melanjutkan perjalanan waktu itu.
Ya sudah akhirnya saya meng-iyakan dan melanjutkan perjalanan tersebut, tapi sebelumnya saya sudah membekali dia dengan sweater tebal.

Berhubung Koes sudah hafal jalannya, perjalanan waktu itu jadi tidak terasa jauh banget seperti waktu saya pergi bersama Koes berdua saja September 2008 lalu.
Sesampainya disana, kita hanya bisa melihat-lihat pemandangan gunung dan danau Batur saja. Hanya itu yang bisa dilakukan selain makan siang di salah satu resto yang ada disana.
Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, kalau kita memakai jasa supir atau guide pasti kita akan diturunkan di salah satu resto disana untuk makan siang. Saya pernah mencoba salah satunya, sistem makannya bisa buffet atau ala carte. Satu orangnya untuk makan buffet Rp 80.000 (harga waktu tahun 2006 lohh).
Karena tidak mau makan di salah satu resto tersebut, akhirnya kita cuma bisa makan baso dipinggiran jalan.hehehe..
Baso disini bukan baso sapi tapi baso ayam..makannya suka ada tulang2 kecil seperti tulang dari ceker. Harganya pun murah meriah, satu mangkok cuma Rp 5.000, saya sampai nambah. View nya pun tidak kalah indah dengan makan di resto, karena diseberang tukang bakso tersebut langsung terpampang indah gunung dan danau Batur.

Sehabis makan, saya iseng tanya2 sama si tukang bakso, di Kintamani ini apa ada tempat wisata lain selain cuma lihat2 danau dan gunung Batur??
Terus dia bilang jika kita teruskan lagi perjalanan kita dari Kintamani, disana ada kebun ... (saya lupa), tapi kita kurang tertarik dan takut tidak ketemu tempatnya.
Selain itu si tukang baso juga bilang, ada pemandian air panas dibawah sana. Tapi menurut beberapa sumber yang saya baca, tempat tersebut kurang meyakinkan deh untuk dikunjungi.
Terus saya iseng2 tanya dia tentang desa Trunyan, tempat yang dari kecil ingin sekali saya kunjungi tapi sampai sekarang belum dan mungkin tidak akan saya kunjungi.
Karena seperti yang sudah orang banyak tahu, desa tersebut tidak bisa dijadikan tempat wisata karena kelakuan orang2nya. Hampir semua teman2 saya dan orang lain yang pernah mengunjungi tempat tersebut selalu pulang dengan membawa kesan yang buruk dengan tempat tersebut.
Bukan karena tempatnya yang seram, tetapi orangnya yang seram2 dan terkesan suka memalak pengunjung yang datang kesana.
Untuk lebih jelasnya silahkan baca2 blog orang yang pernah kesana.
Malah tukang baso yang saya tanyakan itu juga bilang jangan kesana kalau bisa, karena disana banyak orang seperti itunya, malah bisa lebih parah dari itu.
Pantas aja yah tidak ada guide yang menganjurkan kita untuk kesana, ternyata mereka juga takut untuk membawa turis2nya kesana.

Sebelum pulang, kita iseng2 mau turun ke danau Batur, soalnya selama ini setiap saya mengunjungi Kintamani hanya melihat dari atas saja.
Jalur yang akan kita lalui itu cukup berbahaya, dari bentuknya turunan, berkelok-kelok dan tidak terlalu lebar. Di pinggir jalannya pun yang langsung menghadap jurang saya sama sekali tidak melihat adanya tiang pengaman.ck..ck..
Selain itu banyak juga truk2 yang berlalu lalang disana, sehingga kita harus sangat berhati-hati jika melewati jalan tersebut.
Sesampainya dibawah, kita akan dihadapkan dengan pertigaan. Berdasarkan petunjuk yang ada, kalau kekanan kita ke arah desa Trunyan, kalau kekiri kita ke toya bungkah tempat pemandian air panas.
Kita pilih kekanan, karena ingin tahu seperti apa desanya, bukan kuburannya yang terkenal itu yah.
Sebelum benar2 sampai di desanya, kita menemukan pelabuhan kecil yang saya perkirakan itu adalah tempat sewa perahu untuk nyebrang ke kuburan desa Trunyan.
Tetapi disana sangat sepi sekali, tidak satupun terlihat turis disana, boro2 turis, malah saya bilang pelabuhannya seperti tidak ada kehidupan..hehehe..
Sebelum disamperin oleh salah satu tukang perahu disana, kami cepat2 memutuskan untuk segera putar balik. Tadinya kami mau meneruskan perjalanan ke desa Trunyan nya tapi hal tersebut kami urungkan karena kami tidak mengetahui bagaimana keadaan disana dan bagaimana keadaan orang2nya.



Pemandangan danau dan gunung Batur dari bawah




Diperjalanan pulang, seperti biasa jika menjelang sore kabut mulai turun di Kintamani. Tapi untungnya saja tidak hujan, jadi udaranya tidak terlalu dingin.
Di tengah2 perjalanan sebelum Ubud, tiba2 turun hujan yang sangat deras dan memaksa kami untuk segera berteduh di salah satu warung kopi dipinggir jalan.
Diwarung tersebut kami jajan pisang goreng, makanan2 kecil, minum teh bot**, dll.
Pisang gorengnya cuma gope loh..padahal pisangnya enak dan masih anget.
Setelah melewati Ubud kita bertemu lagi dengan pasar Sukawati, disana kita berhenti lagi karena mamanya Iyul mau beli barang yang kemarin dia lupa beli.
Karena sudah sore menjelang malam, kiosnya sudah banyak yang ditutup.
Karena saya dan Koes tidak ingin beli apa2 disana, akhirnya kita cuma beli cemilan2 saja. Rupanya disana kalau malam setelah kios2 pada tutup, area tersebut dipenuhi dengan tukang makanan. Dari yang halal sampai non-halal ada semua.
Saya dan Koes sempat nyobain es campur disana, yang jual orang Jawa loh.
Pas mau pulang pun Koes sempat bungkus nasi b2.hehehe..


- Bersambung -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar